“Siapa saja di negeri ini yang masih berpikir terkotak-kotak karena perbedaan suku dan agama, itu artinya orang tersebut anti Pancasila dan UUD 45,”tegas dr. Sofyan Tan ketika memberikan sambutan di hadapan ratusan guru dan karyawan dari Perguruan Sultan Iskandar Muda, Perguruan Budhis Bodhicitta dan Institute Trade & Bisnis (IT & B), di Medan (9/3/09).
Sepekan sebelumnya, ketika beramah tamah dengan puluhan tokoh etnis Tamil di sebuah resto, Sofyan Tan kurang lebih berkata demikian: “Kalau kita kompak bergandengan tangan, apapun bisa kita wujudkan. Tahun 2010 misalnya, mimpi orang Tionghoa atau Tamil jadi walikota Medan, bukan hal yang mustahil.” Tahun 2007, ketika mengkritik rencana pemberlakuan perda Pajak Kuburan oleh Pemda Deli Serdang, Sofyan Tan menyebutnaya sebagai perda keblabasan. “Betapa susahnya jadi orang Tionghoa di negeri ini, mulai dari lahir sampai mati pun masih diuber-uber petugas pajak!”tandasnya.
Begitulah pembawaan Sofyan Tan. Tegas, lugas dan jarang menggunakan bahasa berbunga-bunga. Dikenal sebagai tokoh muda yang banyak memberi kontribusi pembauran di Medan, Sofyan Tan memang berbeda dengan tokoh masyarakat Tionghoa lain. Kalau bicara, ia lebih suka blak-blakkan. Tapi Sofyan Tan bukan hendak mencari musuh. Dengan bicara jujur, ia mengharap pihak yang dikritik menyadari kesalahannya Soal kegandrungannya terhadap pembauran, Sofyan Tan mengaku tak bisa lepas dari peran orangtuanya, khususnya almarhum ayahnya. “Ayah saya selalu menasihati agar kami cinta terhadap negeri ini karena inilah tanah tempat kita dilahirkan, cari makan, dan kelak akan dikuburkan,”ungkapnya.
Cara Ayahnya mewujudkan cinta terhadap tanah air, menurut Sofyan Tan memang sangat sederhana. Dengan tetangganya yang muslim, ia sering melayat jika ada kemalangan. Misalnya ketika ada yang sakit atau meninggal. Ayahnya juga rajin mengikuti kegiatan sosial di kampungnya. Ada juga fakta lain yang selalu diceritakan Sofyan Tan. Nomer SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) ayahnya adalah bernomer urut 1. Itu artinya, almarhum ayahnya merupakan orang Tionghoa pertama di Sunggal yang secara sadar memilih untuk menjadi warga negara Indonesia! Nasihat lain dari ayahnya yang meresap adalah soal bahagia dalam kebersamaan. “Jika kamu ingin bahagia, ciptakanlah kebahagiaan bagi orang lain,”ujarnya mengulang pesan almarhum. Pesan tersebut benar-benar terpatri dalam sanubarinya.
Pendidikan Pembauran, Ekonomi Wong Cilik dan Lingkungan
Salah satu wujud dari kegandrungan Sofyan Tan terhadap suksesnya pembauran adalah melalui pendirian dan pengelolaan sekolah pembauran. Kini ada sekitar 1.700 siswa dan tenaga pengajar 126 orang yang tengah terlibat dalam proses belajar mengajar di Perguruan Sultan Iskandar Muda, Medan. Mereka berasal dari beragam suku, agama dan latar belakang budaya dan status sosial yang berbeda-beda. Selama kurang lebih 20 tahun, sudah ada 1.607 anak asuh yang disantuni, dan tidak kurang 100 orang yang diberi beasiswa untuk menyelesaikan program sarjana dan paskasarjana. Menurut Sofyan Tan, proses pendidikan yang berlangsung di sekolah diharapkan dapat memfasilitasi tumbuhnya generasi muda yang cara berpikir dan bertindaknya tidak dibatasi sekat-sekat kesukuan, perbedaan status sosial, budaya, terlebih agama dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mewujudkan hal tersebut, YP SIM menyadari pentingnya menanamkan nilai-nilai solidaritas religius kepada anak didik, yang dibangun lewat praksis kehidupan sehari-hari. Di areal Perguruan Sultan Iskandar Muda seluas kurang lebih 1 hektar itu memang ada beberapa rumah ibadah seperti mesjid, gereja dan vihara. Menurut Sofyan Tan, keberadaan rumah ibadah tersebut, mengkondisikan seluruh subjek didik di YP SIM untuk terbiasa melihat perbedaan, misalnya bagi subjek didik yang bergama Kristen, dapat semakin memahami tata beribadat temannya yang bergama Islam, demikian juga sebaliknya. Sedang subjek didik yang menganut agama Islam dan Kristen, juga akhirnya terbiasa melihat mereka yang beragama Budha membakar dupa dalam ritual agama mereka. Sekolah tersebut juga menyantuni ratusan anak asuh yang berasal dari keluarga miskin, baik dari masyarakat Tionghoa maupun non Tionghoa.
Atas jasanya dalam menunjang program pembauran lewat pendidikan, tahun 2007, Sofyan Tan terpilih sebagai penerima Penghargaan Danamon Award 2007. Sebelumnya pada tahun 1989, ia mendapat beasiswa dari Ashoka Internasional, dalam kategori Ashoka Inovator for Public karena dia dianggap telah mampu melakukan inovasi dalam mengatasi persoalan pembauran melalui pendidikan.
Tapi Sofyan Tan tak hanya menekuni soal pendidikan untuk pembauran. Ia juga dikenal sebagai pembela ekonomi wong cilik yang vokal. Pada periode 1998 – 2004, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Forum Daerah dan Forum Nasional UKM, ia banyak melakukan upaya memperluas jaringan bisnis UKM. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan mendekatkan pelaku UKM dengan pengusaha Tionghoa. Sejumlah pengusaha Tionghoa bahkan akhirnya yang terlibat dalam kepengurusan Forum UKM. Bersama-sama dengan pengusaha UKM yang non Tionghoa, mereka aktif memperjuangkan Forum UKM untuk kemajuan usaha mereka. Advokasi juga dilakukan terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan dunia perbankan, yang kebijakan-kebijakannya mendiskriminasi pelaku UKM.
Merespon bencana tsunami di Aceh, bersama sejumlah aktivis kemanusiaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Sofyan Tan aktif melakukan upaya untuk meringkan penderitaan korban yang selamat. Berbagai bantuan berhasill didatangkan dan didistribusikan ke korban. “Tapi kami tak hanya menyantuni korban, bersama Yayasan Ekosistem Lestari dimana saya menjadi ketuanya, kami mengembangkan pkredit mikro,”tambah Sofyan Tan. Sasarannya adalah warga yang mengalami cacat kaki sampai harus diamputasi karena menjadi korban bencana. Mereka berjumlah 41 orang, tersebar di Aceh dan Nias. Ke 40 korban ini telah memperoleh bantuan kaki palsu.
Bagi kalangan penyandang cacat fisik, menjalani kembali kehidupan mereka secara normal seperti sebelum mereka cacat, bukan hal yang mudah. Mereka banyak kendala psikologis. Misalnya kurang percaya diri, malu berinteraksi dengan tetangga. Walau secara fisik, dengan memakai kaki palsu, mereka terlihat seperti manusia normal, namun perasaan berbeda dengan manusia lainnya, kerap menghantui mereka. Hal tersebut mendorong YEL membuat program kredit mikro bagi para penyandang cacat. Rasa percaya diri korban dapat ditumbuhkan kembali jika mereka dapat memberi makna dalam lingkungan sosial mereka. Bekerja adalah fitrah manusia. YEL memberi modal kredit mikro sebesar Rp5 juta tanpa bunga, mereka merintis usaha kecil dengan beragam usulan sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki. Usaha yang dikelola sangat beragam, mulai dari mendirikan kios bensin eceran, berdagang emping melinjo, kios pangkas, panglong kayu sampai usaha tambal ban.
Program kredit mikro juga disalurkan untuk pengusaha UKM di Yogyakarta, termasuk bantuan 500 unit rumah untuk korban gempa. Di Nagan Raya, Aceh, bekerjasama dengan Caritas Internasional, YEL membangun rumah sakit bertaraf internasional yang menelan biaya tidak kurang 5 juta $.
Agro Techno Park
Di bidang lingkungan, aktivitas Sofyan Tan juga tak bisa disepelekan. Sudah puluhan orang utan berhasil dihutankan kembali ke habitat mereka di Jambi. Belum lama ini, kebun percontohannya di Bukit Lawang, yang dikelola lewat konsep pertanian selaras alam sejak 2006, dijadikan area Agro Technopark oleh Menteri Riset dan Teknologi pada Januari 2009. Sebelumnya pada Agustus 2008, bekerjasama dengan masyarakat Timbang Lawang, juga di sekitaran Bukit Lawang, Sofyan Tan berhasil membangun jembatan gantung sepanjang 150 meter yang melintasi Sungai Bohorok yang membelah Desa Timbang Lawang dengan dusun lain yang ada di bawah kaki Bukit Barisan. Pembangunan jembatan tersebut telah menggerakkan roda ekonomi masyarakat dari kedua desa.
Atas jasa-jasanya dalam memajukan pembangunan di Bukit Lawang, Ketua Kerapatan Adat Kesultanan Negri Langkat, Tuanku Azwar Abdul Djalil Rachmatsyah Al- Haj memberi piagam penghargaan. Soyan Tan merupakan tokoh masyarakat kelima yang dianggap berjasa dalam memajukan Kabupaten Langkat dan memperoleh penghargaan. Tokoh masyarakat lain diantaranya adalah Adhiyaksa Dault, Menpora RI, serta Prof. Dr. Djohan Arifin, Asisten Menpora.
Warung Baca untuk Mendidik Rakyat
Sofyan Tan memang tak pernah kering ide dan gagasan. Sejak pertengahan 2008, ia mengajak sejumlah dermawan untuk memfasilitasi pendirian “Waroeng Pintar” di tengah-tengah masyarakat Medan. Menurutnya, warung makanan dan minuman (ringan), atau sering disebut juga kedai minuman, biasanya dijadikan ruang untuk berinteraksi diantara sesama anggota masyarakat. Di warung, orang-orang saling bersosialisasi, bertukar informasi, berkeluh-kesah, berkelakar dan melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan. Melihat potensi tersebut, Sofyan Tan tergerak untuk meningkatkan fungsi warung makan.
Konsep “Waroeng Pintar” adalah upaya menjadikan warung makan dan minum sebagai sumber untuk mencari pengetahuan dan informasi bagi para pelanggan dan masyarakat sekitar warung. Caranya dengan memberi tambahan fasilitas buku-buku bacaan, yang dapat dimanfaatkan secara gratis oleh pengunjung. Kelak, pengelola warung pintar juga dapat menyediakan akses internet murah untuk menambah pasokan informasi dari dunia maya. “Saat ini sudah ada 2 warung pintar di Medan,”jelasnya. Bantuan buku-buku terus-menerus mengalir dari berbagai kalangan masyarakat. Ia sendiri banyak menempatkan buku-buku yang diharapkan dapat mengilhami pengunjuung untuk saling menghormati perbedaan yang ada.
Membangun Rumah Kaum Nasionalis di Tengah Rakyat
Ihwal keterlibatannya di PDI Perjuangan, Sofyan Tan mengaku karena ada kesamaan visi-misi antara apa yang dikerjakan dirinya selama ini dengan partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut. PDI Perjuangan dalam pandangannya merupakan satu-satunya partai politik yang menjadi tempat berlindung bagi mereka yang gandrung terhadap pluralisme. Di samping kegigihan partai tersebut dalam membela nasib wong cilik dan memberdayakan wong gedhe. “Hanya PDI Perjuangan yang selalu memulai kegiatannya dengan berdoa,”tegasnya.
Bapak 4 orang anak itu kini duduk sebagai Bendahara. Pada Pemilu 2009, ia memilih tak ikut mencalonkan diri sebagai caleg. Walau dalam kapasitas sebagai bendahara, ia sebenarnya memiliki peluang diajukan sebagai caleg. Sebagai pendatang baru, ia tidak ingin merusak sistem dan mekanisme internal parpol. “Konsentrasi saya di PDI Perjuangan sekarang untuk memperkuat konsolidasi kelembagaan partai ini dulu,”tambahnya. Ia juga mengaku terinspirasi dengan sikap Pramono Agung, Sekjen PDI Perjuangan, yang juga memilih untuk mengurus partai. “Kalau semua pengurus menjadi caleg, lantas siapa yang mengurus partai?”katanya.
Namun demikian, di luar partai, ia ingin memaksimalkan perannya untuk membangun rumah-rumah kaum nasionalis di tengah rakyat. Selain lewat Waroeng Pintar, yang direncanakan dapat direaliasi pada 21 kecamatan di Kota Medan, ia kini juga tengah menggagas klinik sehat. Tenaga medis dan dokter yang terlibat dalam program ini direncanakan berasal dari kalangan etnis Tionghoa. “Namun tidak menutup kemungkinan partisipasi dari etnis lain”,tambahnya. Partisipasi tenaga medis dan dokter dari kalangan etnis Tionghoa, sekaligus untuk membuktikan bahwa tenaga medis dan dokter dari kalangan etnis Tionghoa juga memiliki kepedulian terhadap nasib masyarakat marjinal di Medan.