Selasa, 09 September 2008

TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP POLITIK

Sebagai masyarakat Kristen (Gereja) kita adalah bagian dari warga negara Indonesia. Dan sebagai warga negara Indonesia kita tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Proses perjalanan bangsa ini tidak akan terlepas justru bahkan sangat mempengaruhi dari kehidupan kita. Baik itu menyangkut aspek agama, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Oleh sebab itu kita (warga gereja) sebenarnya harus ambil bagian dalam perjalanan bangsa. Proses perjalanan suatu bangsa tidak akan pernah lepas dari proses politik dan produk politik. Kebijakan politiklah yang mempengaruhi segala sendi kehidupan bangsa.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah warga gereja telah bertanggungjawab dengan penuh didalam keikutsertaannya terhadap segala proses dan produk politik tersebut? Apakah kita tidak mau tahu dan peduli dengan segala hasil dan akibatnya? Atau bahkan kita malah memanfaatkannya untuk keuntungan dan kepentingan pribadi atau golongan kita?

Gereja (orang Kristen) sebenarnya harus bertanggungjawab terhadap setiap proses dan produk serta akibat dari politik. Mengapa gereja harus bertanggungjawab? Apa pula tanggungjawab gereja? Bagaimana gereja melakukan tanggungjawabnya?

Pada kenyataanya yang kita lihat, banyak yang tidak berminat untuk membicarakannya. Menganggap bahwa politik itu bukan urusan gereja, bukan urusan Pendeta, Penatua/Sintua/Lay Leader atau bukan urusan pribadi-pribadi orang Kristen. Karena selama ini ada anggapan bahwa politik itu kotor, licik. Politik itu hanya bersifat duniawi.

Pada Perang Dunia II, seorang penjahat terbesar, Adolf Hitler (yang juga adalah jemaat gereja) pernah mengatakan politik bukan urusan gereja. Hal ini terjadi ketika sebagian kecil orang Kristen di Jerman menentang kebijakan politiknya. Saat itu Hitler memanggil tokoh gereja yang bernama Neimooler. Kepada Pendeta Neimooler, Hitler berkata: “Saya mengurusi politik, anda mengurusi agama. Saya tidak akan mencampuri urusan anda dan saya minta anda tidak mencampuri urusan saya”. Pada saat itu banyak orang Kristen yang setuju dengan Hitler. Tapi akibatnya, 6 juta manusia tak bersalah menjadi korban kekejaman Hitler. Gereja merasa tidak peduli. Gereja tidak membuka suara.

Gereja saat itu berdosa bukan karena membantu atau terlibat dalam pembantaian tersebut tetapi karena diam dan tidak melakukan apa-apa ketika melihat hal dan kebijakan yang salah telah terjadi. Sampai pada saat ini banyak orang Kristen (gereja) yang setuju dengan Hitler. “Korban-korban” terus berjatuhan, kekejaman, ketidakadilan dan tindakan amoral terus terjadi tetapi gereja terlihat kurang peduli. Gereja kurang bersuara.

Memang benar bahwa misi Yesus datang ke dunia bukanlah misi politik. Tetapi mengatakn bahwa karya Yesus tidak ada sangkut-pautnya dengan politik adalah hal yang salah besar. Pelayanan Kristus adalah bersifat Holistik (menyeluruh). Tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan yang luput dari misi-Nya, baik di dunia (termasuk politik) dan di surga (Kolose 1 : 15-20). Pemberitaan Kristus di dunia adalah untuk memberitakan tentang Kerajaan Allah. “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Matius 4 : 17 ; 3:2). “Kerajaan” adalah istilah politik. I Petrus 2 : 9, mengatakan bahwa orang-orang percaya itu disebut “bangsa-bangsa yang terpilih”. Kata “Bangsa” juga adalah istilah politik.

Yesus lahir di kota Betlehem. Mengapa Yesus lahir di kota Betlehem? Itu terjadi karena akibat dari sensus penduduk yang ditetapkan oleh Kaisar Agustus. Dengan sensus itu, memaksa Yusuf membawa Maria yang dalam keadaan hamil tua untuk melakukan perjalanan jauh yang sangat melelahkan. Ini membuktikan bahwa sensus itu memiliki kekuatan hukum yang besar. Karena kalau tidak terpaksa tidak mungkin Yusuf bersama Maria yang dalam keadaan hampir melahirkan melakukan perjalanan tersebut. Sensus penduduk itu adalah kebijakan politik Kaisar. Sesaat setelah kelahiran Yesus, yang paling terganggu akan kelahiran-Nya adalah Raja Herodes yang merupakan seorang pemimpin politik. Dialah yang pertama kali berupaya untuk melenyapkan Yesus.

Di dalam perjalanan pelayanan Yesus, Partai kaum Parisi dan para ahli Taurat sangat terganggu pengaruh dan legitimasi mereka ditengah-tengah bangsa Israel. Mereka merasa terganggu dengan ajaran reformasi yang diajarkan dan diwartakan Yesus. Fakta lain, Yesus mati akibat disalibkan oleh keputusan Pontius Pilatus yang merupakan seorang tokoh politik. Walaupun dia tidak menemukan kesalahan Yesus tapi tidak berani melepaskan-Nya. Hal ini disebabkan karena pertimbangan dan perhitungan politik di dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan di daerah kekuasaannya. Kalau kondisi di dalam tidak kondusif maka kedudukannya dapat digeser ataupun digoyang. Mereka menyadari bahwa kehadiran Yesus mempunyai efek dan arti politik. Yesus adalah gangguan politik, karena dapat merongrong wibawa dan pengaruh otoritas politik saat itu. Ini merupakan bukti bahwa tokoh-tokoh politik diatas tanggap.

Di dalam Perjanjian Lama Tuhan berperan secara langsung terhadap situasi dan keadaan politik ditengah-tengah bangsa pilihan-Nya (Israel). Dia memilih membimbing dan memberkati Yusuf, sehingga dapat menjadi orang yang paling berkuasa setelah raja di tengah bangsa lain yaitu Mesir. Tuhan memimpin Musa untuk melepas bangsa Israel dari tangan Raja Firaun serta membimbingnya didalam memimpin perjalanan pembebasan itu. Tuhan mengurapi Saul menjadi Raja Israel walaupun akhirnya Dia tidak mendukungnya lagi. Tuhan juga memilih Raja Daud. Tuhan memilih dan memberikan kebijaksanaan kepada Raja Salomo untuk memimpin bangsa-Nya. Dan masih banyak lagi kesaksian Alkitab yang menunjukkan dan membuktikan Tuhan ada dan peduli di dalam kehidupan poltik.

Orang Kristen Indonesia juga mencatat sejarah keterlibatan orang Kristen didalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada jaman pergerakan telah berdiri pertai-partai poltik Kristen. Chriestelije Ethische Partij (CEP), Perserikatan Kaoem Christen (PKC), Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI). Partai-partai lain juga berdiri sekitar kemerdekaan yaitu PKN (Partai Kristen Nasional), PARKI (Partai Kristen Indonesia), PARKINDO (Partai Kristen Indonesia). Selain partai Kristen, kita juga mengenal tokoh-tokoh Kristen yang terlibat pada masa itu, diantaranya GSSJ Ratu Langie, TSG Moelia, A. Latumahina, I. Siagian, Mr. AA. Maramis, JK. Panggabean, J. Latuharhary, RM. Mongonsidi dan tokoh lainnya. Selain berpartisipasi dalam kemerdekaan, tokoh-tokoh dan organisasi diatas juga berperan dalam memperjuangkan bahwa orang Kristen juga mempunyai tempat yang sah, sama dan sederajat dengan pihak-pihak lainnya di dalam kehidupan Indonesia Merdeka. Keberhasilan menolak konsep yang mengharuskan Presiden Indonesia adalah orang Islam, masuk ke dalam UUD serta menolak tujuh kata yang tercantum dalan Piagam Jakarta masuk ke dalam UUD 1945. Sampai sekarang “tujuh kata” itu tidak pernah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara kita.

Mengapa Gereja harus ikut bertanggungjawab terhadap Politik?

Didalam Matius 28 : 18 dikatakan : “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di Sorga dan di bumi”. Segala kuasa artinya tidak ada satu kuasa apapun di dunia ini yang dapat melepaskan diri dari kuasa Kristus, termasuk kuasa politik.
Kolose 1 : 20 mengatakan : “Oleh Dialah yang mempedamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik di bumi maupun yang ada di Sorga”. Atau Wahyu 21 : 5 mengatakan : “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru”. Kata “segala sesuatu” artinya tidak ada satu hal pun di dalam kehidupan manusia yang terlepas dari karya penebusan-Nya. Semua termasuk dan tercakup di dalam karya penebusan-Nya, termasuk politik.

Apakah tanggungjawab Gereja di bidang Politik?


Menurut saya, tanggungjawab gereja di bidang politik dapat ditafsirkan dalam beberapa hal:
1. Kuasa Kristus nyata di bidang politik
Artinya bahwa juga di bidang politik tidak boleh ada Tuhan lain selain Allah. Karena bahaya terbesar di bidang politik adalah penyembahan berhala, mempertahankan sesuatu yang bukan Tuhan. Ideologi bisa menjadi tuhan. Pemimpin atau tokoh kharismatis bisa menjadi tuhan, atau bangsa bisa menjadi tuhan. Kita harus berani menolak dan bertanggungjawab agar hal tersebut tidak terjadi. Semua dan apa saja termasuk itu ideologi, tokoh, pemimpin dan bangsa bukanlah tuhan. Mereka harus takluk dan tunduk di bawah Tuhan yang Satu.
2. Perdamaian Kristus diwujudnyatakan di dalam kehidupan politik
Artinya semangat jiwa kasih dan pengampunan Kristus menjadi nyata. Praktek kehidupan politik amat sering menjadi sangat kejam dan keras. Pendapat dan kepentingan yang berbeda adalah musuh dan harus di tumpas. Tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Ini merupakan semacam paham yang berkembang di tengah-tengah kehidupan politik. Hal ini merupakan kesalahan yang besar dalam politik. Tanggungjawab Gereja adalah tanggungjawab pendamaian. Misi politik gereja adalah misi rekonsiliasi. Menggairahkan kerukunan dan solidaritas sosial tanpa memandang perbedaan golongan, suku, aliran dan keturunan.
3. Program pembaharuan Kristus harus mendasari program-program politik
Artinya setiap proses, produk ataupun kebijakan politik didasari oleh ajaran Kristus. Keberanian untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan kesungguhan untuk merubah diri karena di dalam kehidupan biasanya terjadi keinginan untuk mengubah tetapi enggan untuk berubah. Dunia akan berubah apabila masing-masing mampu merubah diri.

Bagaimanakah tanggungjawab Gereja di bidang Politik?

Gereja harus tanggap terhadap isu, masalah, perkembangan dan gejolak yang dihadapi jemaatnya dan juga bangsa ini. Gereja harus dapat menyerukan suara kenabiannya serta memberi kontribusi dan solusi terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi manusia. Gereja harus berperan menyikapi SKB Dua Menteri tentang perizinan pendirian Rumah ibadah. Ini ditandai dengan pelarangan ibadah oleh sebahagian kelompok. Akibatnya kebebasan beribadah menjadi terganggu. Selain itu gereja juga harus peka terhadap otonomi daerah. Banyak perda-perda atau kebijakan-kebijakan penguasa daerah yang diskriminatif. Masalah lain adalah kenaikan BBM yang tidak berpihak kepada rakyat, perekonomian yang belum membaik, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang masih rendah dan belum merata, disintegrasi bangsa, korupsi, penegakan supremasi hukum, mutu pendidikan yang masih rendah dan lain sebagainya.

Di dalam Sidang Raya Dewan Gereja Dunia (DGD) tahun 1983 di Vancouver Canada, dengan diprakarsai oleh gereja-gereja negara-negara dunia ketiga timbul semacam teologia politik, bahwa “Gereja harus memihak dan membela golongan kaum miskin, lemah, yang tertindas serta kaum-kaum yang termarjinalkan”. Karena Yesus telah membuktikan hal tersebut (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Begitu pula pada zaman nabi-nabi (Yesaya, Amos, Yeremia dan lain-lain).

Untuk melaksanakan dan mewujudkan pandangan Gereja terhadap Pemerintah dan Pemerintahan, dilaksanakan sesuai dengan Injil (Roma 13 ; Matius 22 : 15-22). Pelaksanaan tersebut diisi dengan positif, membangun, kritis dan realistis. Anggota Gereja, tokoh gereja diharapkan lebih banyak terlibat dan ikut dalam lembaga politik, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif, lembaga-lembaga publik serta kelompok-kelompok studi. Setelah hal itu terwujud, gereja harus dapat memanfaatkan anggota-anggota tersebut, dengan dapat melakukan konsultasi dan bekerjasama membahas kehidupan politik yang nyata dan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.

Serta sebagai lembaga atau organisasi, gereja harus dapat menjadikan dirinya sebagai lembaga yang berwibawa, sehingga gereja dapat dijadikan sebagai benteng terakhir bagi jemaat didalam mencari kebenaran dan keadilan ditengah-tengah dunia ini.

Disamping penjelasan di atas ada dua catatan penting yang tidak boleh kita abaikan, yaitu:
1. Tanggungjawab penuh di dalam poltik tidak berarti kita harus menjadi lembaga-lembaga politik. Atau gereja yang dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Orientasi seorang politikus atau tujuan akhirnya adalah kuasa. Bagi gereja yang penting bukan siapa yang memegang kuasa, tetapi bagaimana orang tersebut menjalankan kuasa. Siapapun, kalau menjalankna kuasa dengan baik harus didukung, bila buruk harus ditentang.
2. Kita hanya dapat bertanggungjawab penuh dalam politik apabila kita merasa diri sebagai bagian yang penuh dari masyarakat, bangsa dan negara. Tidak ada aspek atau hal apapun yang terlepas dari politik. Karena agama dan politik seperti “air dan beras” tidak dapat dipisahkan. Kita adalah merupakan warga Kerajaan Sorga, itu pasti. Tetapi kita hanya dapat menjadi warga Kerajaan Sorga yang baik, dengan pertama-tama menjadi warga negara yang bertanggungjawab dimana kita hidup”.

Rabu, 03 September 2008

Apa yang Kau Cari, Caleg?

Sebanyak 38 partai nasional sudah dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta Pemilu 2009. Serentak di berabgai sudut di kota di tanah air, atribut partai marak di ruang publik. Maklum kampanye sudah dimulai dan akan berlangsung kurang lebih sembilan bulan.

Kini partai pun tengah sibuk mengatur strategi untuk merebut simpati publik. Para pengurus partai tentu ingin mendulang suara paling banyak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Kalau berhasil menjadi mayoritas, tentu partai ingin menempatkan jagonya ke kursi presiden.

Indonesia memasuki fase politik yang dramatis sejak tumbangnya penguasa orde baru Soeharto. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun rakyat Indonesia sudah mengalami empat kali pergantian presiden. Padahal normalnya dua kali karena masa jabatan presiden lima tahun.

Tahun depan rakyat Indonesia kembali akan memilih pemimpinnya. Sebelum pemilihan presiden, rakyat Indonesia akan memilih para wakilnya yang akan duduk di deretan kursi empuk di Gedung Senayan. Siapa wakil rakyat yang akan duduk di parlemen? Para elite partai-lah yang memilihkannya untuk rakyat, kemudian rakyat yang akan mengeksekusi, apakah si fulan layak jadi anggota DPR/D atau tidak.

Strategi partai untuk merebut simpati publik antara lain mencoba mewacanakan untuk mengusung kader muda ke kursi parlemen. Strategi lainnya, partai membuka lowongan atau kesempatan kepada masyarakat yang bukan kader partai untuk jadi caleg. Dan yang tak kalah serunya, partai juga mencoba mengajak orang-orang yang sudah dikenal publik, baik selebritis maupun tokoh publik untuk jadi caleg dari partainya.

Selebritis jadi caleg bukan fenomena anyar, karena sudah dimulai tahun 2004. Ada yang sukses jadi caleg, bahkan kemudian sukses di pilkada, tapi ada juga yang kandas seperti Nurul Arifin. Marissa Haque sukses jadi anggota legislatif tapi kandas di pilkada Banten. Dede Yusuf sukses di legislatif dan pilkada Jabar. Rano Karno kandas di Pilgub DKI tapi kemudian sukses di pilkada Kabupaten Tangerang.

Kini lebih marak lagi, baik dari kalangan selebritis maupun tokoh intelektual lainnya yang kemudian tergiur juga jadi caleg menjelang 2009 ini. Kalau selebritis sudah merasa cukup populer, maka tokoh intelektual atau ketua partai kini sibuk menjajakan citra dirinya di layar televisi, baik dalam bentuk tayangan iklan atau muncul dalam momen-momen acara yang menarik, seperti jadi komentator sepak bola atau acara menarik lainnya. Strategi ini sah-sah saja karena merupakan bagian dari marketing politik.

Tapi dari fenomena gencarnya para selebritis berbondong-bondong jadi caleg, tokoh partai atau pun intelektual menjajakan citra diri ke hadapan publik lewat tayangan televisi, belum ada satu pun dari mereka yang mencoba menarik simpati dengan cara mengangkat isu yang kini membuat rakyat trauma dalam memandang citra parlemen. Rakyat luka dan trauma melihat moralitas anggota parlemen.

Citra parlemen kini babak belur akibat ulah anggota parlemen sendiri. Mulai dari kasus korupsi yang menimpa anggota komisi IV, korupsi BLBI yang juga menyeret nama - nama anggota parlemen dari komisi IX, hingga bejatnya moral karena skandal seks, seperti yang dilakukan Yahya Zaini dan Max Moein.

Para anggota parlemen yang seharusnya membela kepentingan rakyatnya, kenyataannya malah berlomba mengeruk keuntungan, dengan cara memalak para pejabat eksekutif, baik pejabat eksekutif maupun perbankan, lalu menghamburkannya dengan pamer harta dan bermain wanita. Para anggota parlemen yang ditahan akibat terlibat korupsi memang hanya segelintir, begitu pula yang terungkap skadal seks. Tapi siapa yang tahu kalau kasus yang terungkap itu hanyalah ibarat gunung es.

Di tengah citra parlemen yang baunya busuk dan bermunculannya para caleg baik dari kalangan selebritis, tokoh partai maupun dari kalangan intelektual, sungguh patut dipertanyakan. Apakah mereka ingin memulihkan citra parlemen dengan membela kepentingan rakyat, atau sama saja ingin ikut memperburuk citra parlemen? Kalau mereka ingin memulihkan citra parlemen, mengapa tak berani mengangkat isu korupsi dan skandal seks yang melibatkan anggota parlemen? Mengapa mereka hanya menebar pesona demi memperluas popularitas dengan isu yang hanya basa basi?