Momentum Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru yang bangsa ini peringati. Bahkan, tanggal 20 Mei tahun ini akan menjadi momentum 1 abad peringatan hari kebangkitan nasional.
Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Masa ini diawali dengan dua peristiwa penting Boedi Oetomo [1908] dan Sumpah Pemuda [1928]. Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.
Tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain: Sutomo, Gunawan, dan Tjipto Mangunkusumo, dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Douwes Dekker, dll.
Istilah ‘kebangkitan nasional’ dipopulerkan Perdana Menteri Hatta 1948. Saat itu, negeri Indonesia masih diwarnai perang kemerdekaan, ketika situasi politik bergejolak hebat. Melihat kondisi tersebut, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantoro) dan Dr. Rajiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamijoyo untuk memperingati kebangunan nasional melalui berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo. Perkumpulan yang didirikan 20 Mei 1908 tersebut, dianggap bisa mengingatkan semua orang bahwa persatuan bangsa Indonesia sebenarnya sudah dicanangkan sejak lama. Usulan tersebut kemudian disetujui pemerintah Republik Indonesia dengan melaksanakan Peringatan Kebangunan Nasional yang ke-40 di Yogyakarta.
Peringatan Kebangkitan Nasional 2008
Peringatan 1 Abad Kebangkitan Nasional rencananya akan digelar secara nasional pula. Puncak acaranya akan dipusatkan tanggal 20 Mei 2008 di Gelora Bung Karno, Jakarta, melalui gelaran mensukseskan peringatan “100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional”. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengharapkan dukungan seluruh insan pers Indonesia untuk mensukseskan peringatan tersebut.
Bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki satu abad kebangkitan nasional. Presiden SBY ingin meletakkan momen tersebut sebagai suatu tonggak bagi bangsa Indonesia agar dapat lebih kompak, bersatu serta siap melangkah bersama dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dengan penuh optimisme.
Untuk memperingati momen kebangkitan nasional tersebut, akan ada acara yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno pada 20 Mei 2008 mendatang. “Di dalam acara tersebut, sengaja ditampilkan prestasi anak-anak bangsa, generasi muda. Karena mereka inovatif, kreatif, baik dalam skala nasional dan internasional. Merekalah yang kita harapkan untuk meneruskan estafet perjalanan bangsa Indonesia ini,” kata SBY kepada seluruh tamu undangan.
Hari kebangkitan nasional memang selalu diperingati setiap tahunnya. Banyak cara dilakukan. Semasa sekolah dulu penulis ingat, hari kebangkitan nasional diperingati dengan upacara bendera. Peringatan kebangkitan nasional hanya bersifat seremonial semata, sebagai pengingat sejarah masa lalu. Khidmat memang. Namun apa sebenarnya yang dapat dipetik melalui upacara semata?
Hanya mengingat bahwa pada tanggal tersebut menjadi momentum bangkitnya para pemuda Indonesia untuk memperjuangkan ksejahteraan dan kemajuan bangsa ini. Bahkan, suasana khidmat memperingati Kebangkitan nasional saat ini semakin kentara lunturnya. Perayaan tidak lagi selayaknya menganggap sebagai sejarah bangsa.
Setelah peringatan selesai, tidak ada lagi tindak lanjut yang dilakukan. Bangsa ini tampaknya sudah rapuh karena tidak ada lagi ‘motor’ yang dapat menggerakkan diri masing-masing menuju kebangkitan bangsa. Minimal kebangkitan diri sendiri.
Sejarah bukanlah sebagai penghias hidup di masa lalu. Namun sejarah perlu menjadi bahan refleksi bagi kita untuk bersikap di masa kini dan akan datang. Melalui sejarah itu pula kita dapat menggali pengalaman dan berbagai pengetahuan agar apa yang kita lakukan bisa menjadi lebih baik dan tidak terus berkubang dalam kesusahan.
Tak salah jika penulis menyebut saat ini telah terjadi degradasi rasa kebangsaan dan moralitas. Apa sebenarnya yang terjadi hingga rasa nasionalisme tergerus?
Salah satu yang tampak adalah cara pandang dan bertindak pragmatis. Keeratan bangsa dalam memegang ideologi Pancasila, sebagai ideologi bangsa, pun luntur dan dianggap sebagai sejarah semata.
Kita tahu bangsa Indonesia telah merdeka selama 63 tahun, diawali dengan proklamasi 17 Agustus 1945. namun sejauh manakah kemerdekaan dimiliki bangsa ini?Jika kita tinjau kembali kondisi bangsa ini, wujud kemerdekaan tampaknya belum dinikmati oleh seluruh warga negara ini. Kita sering dengan, bahkan mungkin menyaksikan sendiri angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Anak-anak bergizi buruk pun meninggi. Bahkan, muncul kasus di Makasar, bagaimana sebuah keluarga miskin yang meninggal karena tidak mampu memenuhi hak dasar memperoleh pangan. MEREKA MATI KARENA KELAPARAN!
Kita saksikan pula, anak-anak jalanan, terutama di kota-kota besar semakin marak jumlahnya. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, tak jarang mereka digunakan sebagai ‘alat’ mencari penghidupan oleh orang tuanya sendiri.
Itulah gambaran di tingkat bawah. Bagaimana di tingkat nasional?
Wujud kemerdekaan pun tampaknya masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menikmati kemerdekaan dengan pembangunan yang mensejahterakan rakyat. Bangsa ini masih saja dijajah oleh bangsa lain. Bukan dalam bentuk penjajahan fisik memang. Namun penjajahan kapital membelenggu bangsa ini. Bantuan moneter melalui utang bisa jadi wujud nyatanya. Atas nama bantuan perekonomian bagi Indonesia tersebut tidak bisa dilihat secara mutlah sebagai niat baik bangsa asing. Di balik itu ada hal lain yang lebih penting. Sadar atau tidak, utang luar negeri memberikan ruang bangsa ini terbelenggu oleh kebijakan negara-negara atau lembaga asing pemberi pinjaman. Tak jarang pula kondisi itu menyebabkan bangsa ini disetir bangsa asing.
Wujud lain terbelenggunya bangsa Indonesia oleh negara-negara asing adalah penguasaan aset-aset bangsa oleh bangsa asing. Proses tersebut telah marak terjadi melalui penjualan aset-aset dalam negeri. Padahal aset-aset tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa. Ambil contoh penjualan aset komunikasi, Indosat. Di tengah arus kemajuan saat ini, sarana telekomunikasi menjadi sangat pentingnya. Namun, penguasaan aset nasional malah dimiliki bangsa asing yang tidak mementingkan kebutuhan nasional.
III
Kebangkitan Nasional dan Tragedi Semanggi
- Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata -Tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan,dan simaklah itu sedu sedan -Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru -Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu -Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad 21 -Tapi malaikat telah mencatat prestasi kalian tertinggi di Trisakti, bahkan seluruh negeri, karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari kata Reformasi-Damai dengan darah arteri sendiri -Merah putih yang setengah tiang ini, menunduk di bawah garang matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi -Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama dan kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita memerlukan peta dari Tuhan [Taufik Ismail, ditulis tanggal 1 Mei 1998]
Momentum Kebangkitan Nasional tahun 1998 dapat dilihat sebagai momentum yang semakin bersejarah. Tahun itu, di bulan yang sama terjadi “Tragedi Trisakti”tanggal 12 Mei 1998. Peristiwa tersebut setidaknya menewaskan empat mahasiswa. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (mahasiswa Arsitektur), Hendriawan Sie (jurusan Manajemen), Hery Hartanto (Teknik Mesin) dan Hafidhin Royan (Teknik Sipil). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.
Peristiwa Mei 1998 tersebut bisa dilihat pua sebagai momentum kebangkitan pemuda yang menuntut terjadinya perbaikan di tanah air ini. Momentum kebangkitan nasional beralih wujud dalam tragedi tersebut. Tak salah pula pabila para korban tersebut digelari ‘Pahlawan Reformasi’. Tak salah pula apabila tanggal 12 Mei diperingati sebagai ‘Hari Anti Kekerasan Nasional’.
Namun apa mau dikata. Kisah akhir perjuangan para pahlawan reformasi itu masih buram. Kasus penembakan seakan di-peti es-kan. Tidak jelas siapa sebenarnya yang patut bertanggung jawab.
IV
Jangan tanya apa yang akan kamu dapat dari bangsa ini, tapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan untuk bangsa ini?
Makna kebangkitan nasional saat ini tampaknya semakin memudar. Sebenarnya apa yang dapat dimaknai sebagai kebangkitan nasional saat ini? Apakah kebangkitan korupsi yang semakin merajalela? Kebangkitan kemiskinan yang tidak pernah berhenti? Ataukah kebangkitan nasional atas harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga kebutuhan pokok lainnya yang terus melonjak?
Memang bukan perkara mudah mewujudkan kebangkitan nasional menuju Indonesia yang lebih baik. Persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini pun sangat kompleks. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Karena antara satu dengan lainnya sangat berkaitan.
Setidaknya, mengutip apa yang dikatakan KH. Abdullah Gymnastiar, memontum kebangkitan nasional perlu diisii dengan kemampuan yang kita miliki. Mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, dan mulai saat ini.
Harapannya apa yang kita lakukan masing-masing bisa menjadi peluru menuju kebangkitan nasional yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar