Keberadan RUU Anti Pornografi ini yang menurut saya sebuah langkah mundur menjadi negara merdeka. Sejak kapan negara ikut campur mengatur baju yang dikenakan warganya? Sejak kapan negara mengatur etika warganya? Bukannya itu adalah domain agama dan nilai masyarakat, bukan domain undang-undang dan hukum formal.
Negara kita, walaupun bukan negara agama, memang menomorsatukan agama termasuk memberi kesempatan dan perlidungan kepada warganya untuk beribadah dan menjalankan tuntunan agama yang dia anut. Dan ini dituangkan dalam Pancasila dan UUD ‘45.
Tetapi, tentunya tidak berarti undang-undang dan hukum harus berdasar pada aturan spesifik agama, apalagi aliran tertentu kan? Teman saya misalnya, memiliki keyakinan kalau seorang pria tidak boleh mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra. Tapi ini tidak berarti semua orang laki-laki di Indonesia tidak boleh mengenakan pakaian dari sutra. Bagaimana orang yang menganut agama yang berbeda dengan teman saya? Apakah dia kehilangan hak-nya untuk mengenakan pakaian sutra karena dia minoritas? Kalau demikian, lalu dimana letak perlindungan terhadap hak asasi warga negara?
Bukannya pornografi dapat meningkatkan kejahatan seksual?
Ini yang ingin saya amati lebih lanjut, karena sampai saat ini saya belum pernah melihat ada sebuah bukti empiris yang mendukung teori tersebut. Dan sampai hal tersebut dapat terbukti, saya rasa pandangan tersebut hanya spekulasi dan mitos belaka. Sangat tidak pantas jika negara ini diatur oleh spekulasi dan mitos yang kesahihannya masih dipertanyakan. Apalagi RUU ini mengatur sesuatu yang batasnya tidak jelas. Apa batasan ‘mempertontonkan pinggul secara sensual?’ Bagi saya pinggul Sarah Azhari tidak sensual karena kurang ramping, tapi bagi orang di pedalaman, mungkin sudah sangat sensual karena disana jarang ada orang pamer pinggul.
Kenapa para Law Makers di DPR semakin sembrono? Saya yakin efek dari disahkannya RUU itu akan berdampak semakin banyak kejahatan seksual (pemerkosaan, dll) dan akan semakin banyak para wanita yang menjadi korban. Saya mendukung penolakan RUU ini. Kalau berbicara soal moral dan etika itu memang tergantung dari tiap individu masing-masing dan peran agama yang dianutnya, yang memang mengajar nilai-nilai moral dan etika, bukan larangan dari negara. Contoh: di Jepang saja yang memang negara terbuka dan sekuler memang peran agama sangat kurang. Pornografi dan pornoaksi ada dimana-mana (majalah, koran, komik, internet, sex club, prostisusi) dan sex bukan masalah yang tabu, akan tetapi kasus kejahatan sexual dan pelecehan sexual malah sedikit sekali dan UU untuk melindungi para wanita memang ada dan jelas, bukan melarang pornografi dan pornoaksi akan tetapi melarang pelecehan sexual. Secara kasar bisa dibilang, para kaum pria bisa menyalurkan “nafsunya” ke “channel” yang ada dari pada melakukan kejahatan dan pelecehan sexual ke para wanita. Perlu diketahui bahwa tipikal manusia itu adalah selalu ingin tau. Dengan kata lain, kalau ada ya dinikmati, tapi kalau tidak ada sampai kemanapun pasti akan dicari.
Melihat getolnya para anggota yang ada di DPR itu saya bertanya-tanya dalam hati jangan-jangan ini cuma RUU kejar setoran DPR seperti RUU Bahasa (yang melarang penggunaan bahasa asing di tempat umum) supaya DPR tidak dituduh tidak produktif selama masa kerjanya? Tapi ini hanya spekulasi saya saja.
Menurut detikcom, Komisi VIII DPR pernah memanggil Redaksi Playboy dan akan meminta untuk membatalkan penerbitan Playboy Indonesia. Kenapa? Karena majalah tersebut tidak edukatif dan melanggar norma-norma yang ada di Indonesia, demikian ujar ketua komisi VIII DPR Hazrul Azwar.
Lho apa lagi ini? Anggota dewan kok berspekulasi dan memvonis sembarangan. Ketika pemerintah campur tangan mengatur ethical issues, kok rasanya tidak seperti tinggal di negara otoriter ya?
Dengan logika yang digunakan para Wakil Rakyat, apakah kita juga perlu membuat UU Anti-Pisau, karena orang membunuh karena ada pisau? Atau lebih ekstrim lagi kita buat RUU Anti-DPR, karena banyak anggota DPR yang korupsi sehingga menghabiskan uang rakyat. (Hahahahaha...mimpi kali ye...)
Pendapat saya, dengan tidak ada bukti kalau pornografi menyebabkan kejahatan seksual, pemerintah (dan semua lembaga yang bernaung dibawah pemerintah) tidak dapat dengan seenaknya menerapkan UU tersebut, karena itu sama saja menjalankan negara dengan ‘feeling’. Menjalankan negara dengan ‘feeling’, tidak dapat ditoleransi, karena negara adalah hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Negara kita sedang bergerak menuju arah yang menakutkan. Jelas sekali, ada kelompok-kelompok yang sedang memproyeksikan untuk merubah negara kita menjadi negara agama versi mereka. Anda lihat fraksi apa yang paling getol mendukung RUU anti pornografi ini? Fraksi “***”(censored). Anda tau berapa pimpinan Partai “***”(censored) yang beristri lebih dari 1? bahkan 4? Jadi mereka yang paling keras memaksakan UU ini tapi merekalah yang sebenarnya paling porno! Sampai-sampai istri satu tidak cukup, tapi pamer kesucian kemana-mana. Dan sayangnya trend sekarang di Indonesia adalah apapun yang berbau agama ditonjol-tonjolkan, seolah-olah semua yang berjubah suci itu suci, padahal mereka adalah orang-orang yang berwawasan sempit, munafik dan menjadi budak sistem pemikiran agama fundamentalis!!!
Menakutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar